Dampak tanam paksa tentu akan dirasakan berbeda oleh masing-masing pihak. Bagi pemetintah kolonial Belanda sebagai pihak penjajah Tanam Paksa yang diterapkan kurang lebih selama 40 tahun dari tahun 1830-1870 tentunya berdampak baik untuk perekonomian mereka.
Dalam kurun waktu tersebut pemerintah kolonial dapat mengisi kas negara dan mendongkrak perekonomian negara yang sempat terseok ditimpa krisis. Bahkan Pemerintahan Batavia dapat melakukan pembangunan secara mandiri dan mencatat laba bersih yang sangat besar sebagaimana kami sebutkan dalam artikel tentang Tujuan Paling Mendasar Diadakannya Tanam Paksa Oleh Belanda.
Namun beda halnya dengan rakyat sebagai pihak yang dijajah. Pemerintah memaksa mereka untuk menyerahkan 20% tanah yang dimiliki kepada pemerintah untuk ditanami berbagai tanaman ekspor yang dikehendaki oleh penjajah.
Selain itu para petani juga dipaksa untuk menggarap lahan tersebut untuk selanjutnya diserahkan secara cuma-cuma sebagai bentuk upeti alias pajak tanah kepada pemerintahan kolonial.
Akibat sistem tanam paksa ini para petanipun kehilangan banyak waktunya untuk bekerja di perkebunan milik pemerintah. Petak-petak ladang yang tadinya ditanami komediti pangan seperti beras, umbi dan jagungpun kini menyempit.
Dan akhirnya kebutuhan pokok seperti beraspun mulai langka dan harganyapun melambung tinggi.
Pada puncaknya, di tahun 1843 muncul bencana kelaparan di Cirebon, Jawa Barat. Kelaparan juga melanda Jawa Tengah, tahun 1850.
Begitulah dampak tanam paksa yang begitu pahit harus dirasakan oleh nenek moyang kita saat itu. Namun Alhamdulillah setelah mendapat protes keras dari berbagai kalangan di Belanda, akhirnya dihapus pada tahun 1870, meskipun untuk tanaman kopi di luar Jawa masih terus berlangsung sampai 1915.